Puasa dan Puncak kasalehan Sosial
Hadirnya bulan puasa seolah-seolah menjadi alarm bagi umat muslim untuk mengurangi kegiatan fisik dengan menambah amalan-amalan rohaniyah. Meningkatkan jumlah ibadah yang lebih dari biasanya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Di antaranya adalah tadarus al-Qur’an yang mungkin sebelumnya sebulan khatam sekali, menjadi dua kali atau bahkan lebih. Ada lagi yang melakukan shalat sunnah lebih banyak, i’tikat, majlis ta’lim, dan agenda lain yang tentunya bernilai ibadah. Karena di bulan yang spesial ini semua pahala dilipatgandakan, maka orang Islam secara spontan terdorong untuk berlomba-lomba memperoleh nilai tersebut sebanyak mungkin.
Kewajiban menjalankan puasa selama satu bulan penuh bagi umat islam sedunia ini hanya terjadi pada Bulan Ramadan. Salah satu ibadah yang mengharuskan pemeluknya untuk meninggalkan kebiasaan makan dan minum di waktu siang hari, mulai fajar sampai matahari terbenam dan menjauhkan diri dari segala aktivitas yang tidak bermanfaat. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk riyadloh untuk menguji ketahanan manusia ketika merasakan lapar dan dahaga. Di samping itu juga mengingatkan manusia akan nikmat Tuhan kepada mereka atas rizqi yang diterimanya, yang dengan itu, manusia dapat melakukan apapun sekendaknya. Implikasinya adalah membuat hati umat muslim semakin sadar akan hak-hak orang lain yang harus segera disalurkan.
 Puasa sesungguhnya juga mengajarkan manusia supaya memiliki rasa simpati dan empati dengan kondisi yang terjadi di lingkungan sekitar. Mengajak untuk memberikan perhatian lebih banyak terhadap sesuatu. Membantu saudara, tetangga, teman ataupun orang lain yang sedang dalam keadaan kurang beruntung, terlebih kepada mereka yang dalam masa kesulitan luar biasa. Oleh karena itulah kemudian muncul orang-orang yang berinisiatif membagikan makanan sebagai ta’jil secara cuma-cuma di jalanan. Harapannya, dengan makanan tersebut mereka dapat mengisi sedikit kekosongan perut ketika tiba waktu maghrib meskipun masih dalam perjalanan. Bahkan sekarang di masjid-masjid atau musholla sudah banyak yang menyediakan makanan pembuka puasa, sehingga mereka yang tidak mampu membeli makanan sendiri bisa langsung mendatangi tempat-tempat ibadah tersebut. Disediakan pula posko-posko mudik di jalan-jalan besar. Ini merupakan tindakan refleksi atas situasi sosial bahwa puasa identik dengan orang-orang yang melakukan perjalan jauh untuk pulang kampung. Maka perlu menyiapkan tempat-tempat peristirahatan sementara ketika mereka merasa lelah di perjalanan.
Menurut ajaran sufi, kekosongan perut itu menjadi syarat untuk dapat mengondisikan jiwa dan pikiran. Bahkan salah seorang tokoh filsuf, Immanuel Kant, diceritakan tidak pernah makan malam karena jika makan malam, maka dia tidak akan bisa konsentrasi dalam membaca. Ini merupakan salah satu bukti bahwa dalam keadaan puasa, justru suasana pikiran manusia semakin meningkat, sehingga mereka mampu berpikir lebih baik dan reflektif terhadap situasi serta tergerak untuk segera mengambil tindakan atas situasi tersebut.
Kesadaran diri atas apa yang terjadi di alam sekitar itulah yang sesungguhnya perlu ditanamkan oleh umat muslim ketika menjalankan puasa. Tidak hanya sebatas menggugurkan kewajiban sebagai seorang muslim, tetapi nilai-nilai filosofis itu harus terinternalisasi dalam jiwa setiap pelakunya. Karena itu pula diakhir puasa ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat. Selain untuk menyucikan diri, zakat juga menjadi puncak atas tindakan sosial selama menjalankan ibadah di Bulan Ramadan. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits: “Rasulullah SAW telah menetapkan wajibnya zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan-perbuatan dan omongan kotor, dan sebagai hidangan bagi orang fakir miskin†(HR. Abu Daud Ibnu Majah dan Imam Malik). Wallaahu a’lamu bi al-Shawaab.
Â
Penulis: Zahrotur Rochmah, Dosen IQT Fakultas Ushuluddin IAIN Kudus
Â