Menjemput Malam Kemenangan : Sakralitas dan Formalitas

Blog Single

Tradisi malam takbiran marak dilakukan menjelang idul fitri, tepatnya pada malam 1 Syawal oleh Muslim di seluruh belahan dunia termasuk di Indonesia. Umat islam di segala penjuru dunia akan beramai-ramai mengumandangkan takbir secara serentak. Di berbagai daerah di nusantara terdapat beragam tradisi unik malam takbiran untuk menyambut esok hari di hari yang fitri. Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk merayakan kemenangan  setelah berpuasa sebulan penuh selama ramadan.

Dalam merayakan malam tersebut ada begitu banyak macam cara yang biasa dilakukan mulai dari takbir keliling dengan pawai mengililingi penjuru kota menggunakan kendaraan mobil yang dilengkapi dengan hiasan lampu kelap-kelip. Tidak mau ketinggalan juga motor beriringan dengan knalpot yang dinyaringkan membuat bising telinga. Juga mulai diramaikan dengan musik dugem (dunia gemerlap) yang menggunakan sound system besar di pinggir jalan dengan alunan musik rock, DJ dan lain-lain, serta dilengkapi dengan joget erotis. Pada malam itu sudah tidak lagi menggambarkan malam takbiran yang penuh hikmah, malam yang sakral, malam yang ditunggu-tunggu umat Islam untuk meningkatkan kualitas keimanannya dengan bertakbir dan bertahmid. Itu terjadi karena ulah sekelompok kecil masyarakat yang tidak atau belum paham akan makna, dan esensi malam takbiran yitu untuk bertakbir dan bertahmid bukan untuk hura-hura, apalagi dengan cara-cara yang tidak etis, melanggar ajaran agama, norma dan adat ke-timur-an yang dapat merubah makna substantif malam takbiran dengan diperdengarkannya musik ala dugem.

Hal itu sangat menyalahi norma agama, malam perayaan hari raya yang seharusnya dihidupkan dengan cara bertakbir, tahmid, dzikir, sholat sunnah malah menjadi malam “petaka”. Untuk “menghindari” kesalahan tersebut, ada beberapa cara untuk menghidupkan malam hari raya supaya nilai sakralitas malam idul fitri benar-benar dirasakan oleh umat Islam, yaitu dengan cara sholat sunnah, dzikir, membaca al-qur’an, dan bentuk ibadah apapun agar hati tidak mati akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati. Karena ada hadits yang berbunyi:

مَنْ قَامَ لَيْلَتَىِ الْعِيدَيْنِ لِلهِ مُحْتَسِبًا لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ. (رواه الشافعي وابن ماجه)

 

Artinya, “Siapa saja yang qiyamul lail pada dua malam Id (Idul Fitri dan Idul Adha) karena Allah demi mengharap ridha-Nya, maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati,” (HR As-Syafi’i dan Ibn Majah).

Dari sisi riwayat, hadits keutamaan menghidupkan malam hari raya ini memang dhaif, namun demikian menurut para ulama hadits tersebut masih termasuk dalam kategori dapat diamalkan karena berkaitan dengan keutamaan ibadah.

Sementara dari sisi dirayah, maksud ‘hati tidak akan mati’ dalam hadits ini adalah hati tidak akan mengalami kebingungan di saat banyak orang mengalaminya, yaitu pada saat sakaratul maut, saat ditanya oleh dua malaikat (di alam barzakh), dan ketika hari kiamat. Berikut ibarohnya:

وَمَعْنَى عَدَمِ مَوْتِ قَلْبِهِ عَدَمُ تَحَيُّرِهِ عِنْدَ النَّزَعِ وَعِنْدَ سُؤَالِ الْمَلَكَيْنِ وَفِي الْقِيَامَةِ. بَلْ يَكُونُ مُطْمَئِنًّا ثَابِتًا فِي تِلْكَ الْمَوَاضِع

 

Penulis : Syahrul Dzulkhijamal Magasiswa IQT FU IAIN Kudus

Share this Post1: