Dakwah Qur’ani di Negara Muslim Minoritas

Blog Single

Rabu, 7 Mei 2025. Prodi IQT Fakultas Ushuluddin mengadakan kegiatan konsorsium dengan tema “Dakwah Qur’ani pada Masyarakat Minoritas Muslim: Pengalaman dari Jepang, Taiwan dan Korea “ dengan mendatangkan narasumber Ketua LDNU (Lembaga Nahdlatul Ulama) dan Dai Internasional yaitu KH. Syaiful Amar, Lc, M.S.I. kegiatan ini dibuka oleh  Prof. Dr. H. Ahmad Atabik, Lc, M.S.I, Dekan Fakutas Ushuluddin, IAIN Kudus. Dalam sambutannya Prof. Atabik memberikan apresiasi dan terima kasih atas terselenggarakannya kegiatan ini, terkhusus pada Narasumber yang bersedia untuk memberikan wawasan dan pengalamannya pada para peserta konsorsium. “ saya sangat senang dengan tema yang diangkat, apa lagi narasumbernya juga sangat kompeten di bidangnya dan juga banyak pengalaman dakwah di banyak negara di luar negeri, semoga ini menjadi ilmu dan wawasan bagi para mahasiswa dan peserta konsorsium”

Fenomena pertumbuhan komunitas Muslim di negara-negara dengan mayoritas non-Muslim seperti Jepang, Taiwan, dan Korea menunjukkan dinamika dakwah Islam yang unik. Dalam konteks masyarakat minoritas, strategi dan pendekatan dakwah tidak bisa dilepaskan dari sensitivitas budaya lokal, keterbatasan sumber daya dakwah, serta tantangan dalam menyampaikan pesan Qur’ani di tengah dominasi nilai dan sistem kepercayaan yang berbeda.

Dalam pemaparannya KH. Syaiful Amar, Lc, M.S.I menjelaskan bahwa di antara 3 negara minoritas muslim yang dikunjungi : Korea, Taiwan dan Jepang adalah Korea yang masyarakatnya masuk kategori tertutup sedangkan Taiwan dan Jepang sangat terbuka. Maka ini juga menjadi tantangan dakwah supaya nilai ajaran yang kita sampaikan bisa diterima. Begitu juga dengan kehati-hatian untuk mencari makanan halal yang cukup susah karena sekitar10 dari 9 makanan yang ada di negara-negara yang muslim minoritas mengandung babi dan khamr.

Dalam dakwahnya di negara minoritas muslim Kyai Amar menceritakan kondisi muslim di sana tidak seperti di Indonesia missal untuk waktu sholat dan waktu puasa cukup susah untuk menentukan karena memang tidak ada Lembaga khusus yang menanagani seperti di Indonesia maka mereka mengikuti  negara tetangga yang mayoritas muslim, bahkan mengkumandangkan adzan juga susah untuk ditemukan. Begitu juga untuk pelaksanaan sholat Juma’t tidak bisa harus menggunakan madhab syafii dengan jumlah minimal 40 orang laki-laki  karena faktanya tidak ada jumlah laki-laki muslim yang berjumlah yang disyaratkan maka menggunakan madhab yang mempermudah bahwa sholat jumat tidak harus dengan 40 orang, begitu juga menjama sholat di waktu kerja dan hukum najis anjing. Ini semua bagian dari bentuk kemudahan bagi komonitas muslim minoritas. Kemudahan yang diberikan ini ternyata juga memberikan ruang bagi muslim di sana untuk berusaha menjadi muslim yang taat.

Di akhir pemaparan ada sesi diskusi di mana ada salah satu peserta Dosen dari Zuliah Rahmi IAIN Lhoksumawe, Aceh yang menanyakan terkait dengan  kesetaraan gender di sana. Anisa Listiana, Dosen Fakultas Ushuluddin juga menanyakan terkait dengan kemudahan beragama yang ada di Taiwan, Jepang dan Korea sebagai agama prasmanan, yang dengan mudah mengambil mana yang paling mudah.

KH. Syaiful Amar, Lc, M.S.I merespon bahwa masalah rasisme di korea masih kuat namun di di jepang kesetraan dijunjung tinggi, sangat egaliter, di Taiwan juga terbuka dan menghargai Perempuan. Di sana Muslimah juga sudah berusaha menggunakan identitasnya seperti berkerudung untuk menunjukan identitas diri sebagai seorang Muslimah. Saya sendiri dalam beberapa kesempatan sarungan sebagai promosi budaya Islam. Adapun masalah agama prasmanan adalah bagian dari strategi dakwah, prinsip agama Islam adalah memudahkan hanya saja tentu ada batasan. Kondisi di negara muslim minoritas adalah kondisi dharurat dan tentu model ini menjadi solusi dengan keadaan muslim di Tengah-tengah mayoritas non-Muslim, namun jika keadaan sudah memungkinkan kemudahan itu tentu tidak berlaku.

Share this Post1:

Galeri Photo