Green Theology (Teologi Hijau) Pada RPPLH (Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) Prov. Jawa Tengah 2022-2052
Oleh : Dr. Abdul Fatah, M.Si (Dosen Studi Al-Qur’an dan Lingkungan, IAIN Kudus)
Pengelolaan lingkungan tidak sebatas memperhatikan aspek teknisnya saja tapi juga harus memperhatikan perilaku manusianya karena perilaku manusia akan lebih dominan menentukan bagaimana hasil dari tata kelola lingkungan yang telah ditetapkan, tentu bukan bermaksud untuk mengabaikan faktor-faktor lain hanya saja perilaku manusia ini dipandang menjadi unsur utama (major factor) yang harus diperhatikan dengan serius khususnya oleh pemerintah dalam membuat dokumen terkait dengan RPPLH Jawa Tengah. Dokumen RPPLH ini wajib disusun baik oleh pemerintah pusat maupun daerah karena menjadi mandat dari Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sebagai pertimbangan (consideration) berikut diuraikan beberapa tantangan (challenge) yang harus diperhatikan pemerintah sebelum menetapkan RPPLH Prov. Jawa Tengah 2022-2052.
-
- Jumlah penduduk akan mengalami over size populasi yang akan memicu kebutuhan pada sandang, pangan dan papan yang tinggi pula. Di sisi lain luas bumi tidak bisa bertambah sedangkan jumlah manusianya mengalami kenaikan. Jika tidak ada skema untuk merespon kondisi ini cepat atau lambat akan menjadi problem masyarakat Internasional begitu juga bagi Indonesia dan Jawa Tengah khusunya, di mana jumlah tanah berkurang karena alih fungsi untuk rumah, perkantoran dan infrastruktur lain. Akibatnya sawah-sawah dan lahan produktif semakin berkurang jumlahnya begitu juga vegetasi lahan menyempit yang berfungsi untuk menjaga ketersediaan oksigen, penyimpanan air dan mengurangi potensi banjir saat musin hujan tiba. Ini adalah masalah serius yang dihadapi manusia di masa depan, bahkan hari ini sudah kita rasakan. Bagaimana over populasi ini bisa menjadi berkah bukannya menjadi masalah dan petaka ? itu lah pertanyaan yang harus kita jawab bersama-sama. Pemerintah harus sudah memetakan berapa jumlah lahan produktif dan yang berfungsi sebagai vegetasi yang ada di Jawa Tengah? Apakah jumlahnya sudah ideal?
- Banyaknya pabrik dan industri di Jawa Tengah bisa menjadi berkah karena mampu untuk menyerap tenaga kerja baru yang berdampak pada pengurangan angka kemiskinan, terlebih Jawa Tengah dilihat lebih menjanjikan bagi pelaku usaha karena UMR-nya yang masih bersahabat dibandingkan Jakarta dan Jawa Barat. Namun banyaknya pabrik dan industri ini juga menjadi musibah lingkungan yang berdampak jangka panjang jika aturan-aturan pengelolaan limbahnya tidak diindahkan begitu juga sangsi dari pemerintah jika tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintah perlu untuk memetakan kembali bagaimana dampak kehadiran industri tersbeut dilihat dari sisi lingkungan dan sosial semisal kadar kualitas udara, kualitas air, kualitas tanah dan juga kondisi sosial masyarakat akibat dari industri tersebut. Variabel-variabel ini penting untuk dikaji secara akdemis dan empiris supaya penentuan kebijakan yang nanti termuat dalam RPPLH Jawa Tengah benar-benar sudah dikaji secara matang dan ilmiah tidak bersifat asumtif dan praduga (opini).
- Dalam membangun infrastruktur apa-pun itu bentuknya harus menganut paradigma triple bottom line yaitu menyeimbangkan tiga sisi dan tidak boleh saling mendominasi adapun tiga aspek tersebut adalah profit, people dan planet yang kemudian disebut dengan triple bottom line. Dalam membangun infrastruktur di antara yang ingin dicapai adalah profit (keuntungan materi/ekonomi) namun tidak boleh hanya melihat itu saja harus memperhatikan bagaimana people manusia yang ada dalam zona infrastruktur tersebut apakah aktivitas sosialnya terdampak? Apakah ada efek negative yang ditimbulkan dari proyek tersebut pada masyarakat sekitar? Begitu juga dengan memperhatikan planet yaitu kondisi lingkungan. Apakah pembangunan tersebut mengakibatkan zona lingkungan terganggu? Vegetasinya menurun? Kulitas air tercemar? Kualitas udara terdampak polusi? dan lain sebagainya. Maka paradigma pembangunan jangan melihat satu sisi saja economic growth (pertumbuhan ekonomi) tapi juga people kondisi masyarakatnya dan sekaligus planet kondisi lingkungannya. Dengan begitu akan ada keseimbangan dan kepastian generasi sekarang dan akan datang untuk menikmati profit ekonomi, nilai kesejahteraan dan kondisi lingkungan sehat - bersih.
- Perilaku manusia menjadi pemicu utama kualitas lingkungan kita hari ini. Sebagus apapun regulasi yang telah dibuat dan setinggi apapun sangsi yang diberikan jika nilai kesadaran manusianya pada lingkungan rendah maka menjadi sulit untuk menjalankan agenda-agenda perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Merubah perilaku untuk peka dan sensitive pada lingkungan bukan-lah perkara mudah, maka dibutuhkan gerakan yang sistematis dan massif menggandeng semua unsur-lapisan masyarakat untuk bergerak bersama. Di antara usaha yang bisa ditempuh adalah pembacaan teks agama yang ramah lingkungan (green theology) Pemerintah mendesak untuk menghadirkan para agamawan yang memiliki kompetensi pada kajian lingkungan sekaligus untuk meramu dan meracik naskah-naskah keagamaan yang digunakan para khatib/dai/penceramah supaya naskah yang menjadi materinya tadi bernuansa sensitive pada lingkungan. (tidak hanya agamawan Islam tapi juga agamawan dari agama lain yang memiliki konsen pada lingkungan) Selama ini masyarakat sebatas diarahkan untuk gemar shodaqoh pada fakir-miskin, ikut berkontribusi pembangunan masjid/mushola, pesantren dan hal-hal teologis lainnya namun agak lupa untuk mengingatkan umatnya bahwa membuang sampah pada tempatnya bagian dari amal baik yang bernilai shodaqoh hal ini terkonfirmasi banyak ayat al-Qur’an yang berbicara tentang kebersihan dan kesucian bahkan dalam kitab-kitab fiqih bab pertama yang ditulis adalah tentang kesucian (kebersihan) begitu juga dengan perilaku-perilaku ekologis yang lain semisal menanam pohon adalah bagian dari amal jariyah seorang muslim karena pohon memiliki fungsi strategis untuk menunjang kehidupan di bumi dan berdampak pada ekosistem dunia. kebalikannya kegiatan illegal logging menabang pohon sembarangan adalah bagian dari perilaku yang tidak mencerminkan orang ber-iman maka perilaku demikian masuk kategori kafir ekologis. Ini didasarkan pada Hadis Nabi bahwa tidak boleh bagi seorang yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhirat untuk menumpahkan darah dan menebang pepohonan. Begitu juga hadis nabi yang berbicara bahwa muslim berserikat pada tiga hal yaitu air, rumput dan api bisa dipahami bahwa menjaga air sebagai sumber kehidupan, melestarikan rumput, tumbuh-tumbuhan, pepohonan sebagai bagian dari ekosistem dunia dan juga api (energi) adalah kewajiban muslim. Karena tiga hal tersebut merupakan komponen pokok dalam ekosistem yang berpengaruh pada keberlanjutan makhluk hidup di dunia ini. Apa yang disampaikan tersebut adalah contoh kecil bagaimana ajaran agama Islam begitu peka dan memberikan perhatian serius pada kondisi lingkungan hanya saja kurang dieksplorasi dan diterangkan pada umat serta masyarakat luas sehingga dibutuhkan usaha memasyarakatkan nilai-nilai agama yang bernilai ekologis dengan merancang naskah agama berwawasan lingkungan yang menjadi menu atau bahan para penceramah/khatib berbicara di depan umat. Masjid-masjid di bawah pengelolaan pemerintah bisa dilakukan intervensi dengan mewajibkan para khatib/penceramah menyampaikan materi tentang lingkungan dengan perspektif al-Qur’an dan hadis dengan demikian pelan tapi pasti masyarakat bisa terbuka kesadarannya pada pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan untuk keberlanjutan kehidupan semua makhluk di dunia ini khusunya semua komponen biotik dan abiotik di Indonesia dan khususnya khusus di Jawa Tengah. semoga