Sejarah Pewahyuan dan Tradisi Nuzulul Qur’an di Indonesia
Perayaan tradisi peringatan Nuzulul Qur’an merupakan bagian yang sudah dilaksanakan umat Islam di bulan Ramadan. Namun di masyarakat timbul pertanyaan sebetulnya kapan turunnya al-Qur’an ke bumi apakah saat tanggal 17 Ramadan atau saat Lailatul Qadar, untuk menjawab itu ada baiknya semuanya dikembalikan pada sejarah pewahyuan al-Qur’an. perdebatan tentang kapan Nuzulul Qur’an merupakan kajian yang senantiasa hangat untuk diperbincangkan. Dalam al-Qur’an ada empat ayat yang berkaitan dengan sejarah pewahyuan al-Qur’an. Ayat yang pertama yaitu dalam Qs. Al-DukhÄn [44]: 3
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan (Qs. Al-DukhÄn [44]: 3).
Menurut mufasir, ayat tersebut masih bersifat spekulatif, dan memiliki sudut pandang yang bermacam-macam, sebab redaksi ayat begitu umum yakni Allah swt. menurunkan al-Qur’an di laylati al-mubÄrakah (malam yang berkah), padahal dalam setahun terdapat 365 malam, sehingga ayat ini menjadi sulit untuk dipahami, sebab ruang lingkup yang terlalu luas, malam yang mana yang dimaksud dalam al-Qur’an. pada kesempatan selanjutnya muncul ayat lain, yakni dalam QS. Al-Qadr [97]: 1
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan (QS. Al-Qadr [97]: 1)
Ayat kedua disebutkan dengan laylati al-Qadr pada ayat ini kata yang digunakan adalah malam kemuliaan yang dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadr Yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, kebesaran, karena pada malam itu permulaan turunnya Al Quran. Akan tetapi Dalam perspektif ulama semua malam penuh kemuliaan, sehingga ayat ini belum jelas untuk melihat sejarah pasti kapan sebetulnya al-Qur’an diturunkan.
Pada ayat ketiga, penjelasan tentang kapan ayat al-Qur’an turun dapat dilihat pada Qs. Al-Baqarah [2]: 185 yakni di bulan Ramadan. Para ulama kemudian berbeda pendapat tentang kapan waktu turunnya al-Qur’an secara lebih rinci, kemudian dalam ayat keempat memberikan petunjuk bahwa ayat al-Qur’an turun sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-AnfÄl [8]: 41, wamÄ anzalnÄ ‘ala abdinÄ yawma al-furqÄni yawma ltaqa al-jam’Än (dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari furqan yaitu bertemunya dua pasukan).
Secara spesifik QS. Al-AnfÄl [8]: 41 dapat ditafsirkan bahwa al-Qur’an diturunkan pada saat bulan Ramadan tepatnya hari ke tujuh belas saat hari furqan pemisah dengan ditandai bertemunya pasukan umat Islam dan Kafir Qurays saat perang badar. Atas dasar itu kemudian disepakati oleh Kementerian Agama Indonesia bahwa Nuzulul Qur’an disepakati dilaksanakan pada saat tujuh belas Ramadan, orang-orang meyakini bahwa tradisi udun-udunan oleh orang Jawa atau Nuzulul Qur’an secara umum di Indonesia merupakan sebuah tradisi yang sakral dan penting bagi umat Islam.
Menurut tafsir Ibnu kapan terjadinya laylatul Qadar dan Nuzulul Qur’an sangat dirahasikan oleh Allah sebagai bagian dari spirit Ramadan. Sebab harinya dirahasiakan orang akan senantiasa meningkatkan ibadah dalam satu bulan penuh, ada yang merayakan tanggal satu, tiga, tujuh, tujuh belas, dua tujuh bermacam-macam. Hal ini menjadikan bulan Ramadan menjadi bulan yang penuh semangat menuju kemenganan,
Dapat dibayangkan apabila laylatul Qadar dan Nuzulul Qur’an diketahui harinya secara maka orang hanya akan beribadah di hari tertentu saja. Sebagaimana kemunculan fenomena bulan Ramadan saat tanggal kelipatan ganjil orang-orang akan ramai orang qiyamul layl menunaikan shalat witir tahajud dan tasbih bahkan sampai tengah malam, sedangkan pada tanggal-tanggal yang kelipatan genap masjid terasa lebih sepi, hal ini disebabkan adanya salah satu pendapat bahwa laylatul Qadar maupun Nuzulul Qur’an muncul dan turun di tanggal ganjil, padahal tidak ada yang tahu secara pasti kapan peristiwa itu terjadi.
Terlepas dari hal itu, tradisi peringatan Nuzulul Qur’an di Indonesia telah dirayakan dengan berbagai acara yang unik dan menarik. Perayaan tradisi Nuzulul Qur’an oleh masyarakat banyak dilaksanakan dengan acara buka bersama, ada yang dilaksanakan dengan melaksanakan lomba bulan Ramadan, ada yang dirayakan dengan pengajian yang dilaksanakan di Masjid, Musholla, maupun Pesantren yang dimeriahkan sholawat maulid Nabi maupun pembacaan tadarus al-Qur’an, atau bahkan tidak sedikit pembagian takjil, grebeg sahur on the road dan orang tarhim membangunkan orang sahur di sepertiga malam. Hal ini merupakan bagian dari kearifan lokal budaya di Indonesia untuk menyongsong dan menghidupkan bulan Ramadan. Wallahu a’lam bi al-showab.
Penulis : Althaf Husein Muzakky, M.Ag (Dosen IQT FU IAIN Kudus)