Prof. Atabik Mengeksplorasi Auto-Antonimi dalam al-Qur’an di Dialog Interaktif IKAQ Pusat
Rabu 28 Agustus 2024, Ikatan Alumni Qudisiyah (IKAQ) mengadakan dialog inetraktif dengan tema : Mengurai Kompleksitias Penerjemahan al-Qur’an dengan Pendekatan Lafad dan Makna. Bertempat di Pendopo Majlis Gusjigang Qudisyah, Kudus acara yang dilaksanakan pada pukul 20.00 WIB ini mengundang pakar dan ahli al-Qur’an Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, seorag kyai yang alim alamah di bidang al-Qur’an sekaligus sebagai Ketua Pentashih al-Qur’an Kemenag RI adapun pembicara kedua adalah Prof. Dr. KH. Ahmad Atabik, Lc., M.S.I Dekan fakultas Ushuluddin, IAIN Kudus dan Guru Besar di bidang studi al-Qur’an dan tafsir.
Pada sambutan pembukaan Ketua Yayasan Pendidikan Islam Qudsiyah Prof. Dr. H. Ihsan, M.Ag menyampaikan bahwa Qudsiyah berkomitmen untuk selalu berkhidmah untuk masyarakat di antaranya melalui jalur pendidikan. Begitu juga harapan untuk para alumni bisa secara konsisten berkhidmah untuk masyarakat sesuai dengan bidangnya masing-masing sehingga keberadaan Qudsiyah semakin dirasakan oleh masyarakat luas. Acara malam ini juga bagian dari bentuk khidmah keilmuan melalui forum dialog interaktif yang diharapkan bisa mencerahkan dan menambah khazanah keilmuan bagi para santri, alumni dan masyarakat umum.
Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad dalam paparannya menyampaikan bahwa al-Qur’an mempunyai keluasan makna sehingga maknanya selalu mampu untuk merespon tantangan zaman. Dalam studi al-Qur’an ada terjemah dan tafsir. Terjemah itu adalah alih bahasa ke bahasa ke dua. Dalam menterjemahkan harus hati-hati supaya tidak keluar terlalu jauh dari makna asal maka dibutuhkan ilmu-ilmu pendukung seperti nahwu, shorof, balaghah dan lain sebagainya supaya ada kesesuaian atau keselarasan, apa lagi jika ayat-ayat yang ghorib maka harus benar-benar hati-hati.
Sedangkan Prof. Dr. KH. Ahmad Atabik, Lc., M.S.I memaparkan bahwa dalam konteks terjemah al-Qur’an setiap bahasa-bahasa mempunyai karakter dan ciri khas masing-masing yang boleh jadi jika di-translate tidak bisa menjangkau bahasa asal ke bahasa yang dituju. Melihat asumsi tersebut ada ulama yang mengharamkan menterjemahkan al-Qur’an di antaranya adalah Syekh Rasyd Ridho karena dikhawatirkan mengurangi bahkan mendergradasi nilai kemukjizatan dari al-Qur’an. Berbeda dengan Syekh al-Maraghi yang membolehkan terjemah al-Qur’an alasannya adalah untuk mempemudah masyarakat umum memahami nilai kandungan al-Qur’an.
Dalam menterjemah al-Qur’an memang dibutuhkan kehati-hatian karena terkadang satu kata dalam al-Qur’an mempunyai makna yang beragam dalam al-Qur’an semisal kata umat dalam al-Qur’an mempuyai makna yang beragam semisal umat bermakna usbah (kelompok), ada juga bermakna milah (agama), umat bermakna imam (pemimpin yang diteladani) dan lain sebagainya. Jika dilihat dalam terjemahan al-Qur’an kementerian agama ternyata umat diterjemah dengan umat padahal makna umat tadi bisa beragam. Di samping itu juga ada kosa kata dalam al-Qur’an di mana satu kosa kata mempunyai dua makna bertentangan yang disebut dengan Auto-antonimi atau al-Addad contohnya adalah quru’ dalam QS. Al-Baqarah: 228 kata quru’ bisa berarti haid dan suci, makna ini tidak bisa dikompromikan karena bertentangan. Oleh terjemah kementerian agama hanya diterjemahkan quru’ kemudian dikasih tanda kurung haid dan suci tanpa memilih maknanya apakah suci atau haid. Begitu juga kata asarra dalam QS. Yunus: 54 dan QS. Saba’: 33 mempunyai arti menyembunyikan dan menampakan, menurut terjemahan kemenag kata asarra ini diterjemahkan menyembunyikan (akhfa) tapi menurut Imam Ar- Razy kata asara diartikan adhara menampakan. Inilah beberapa contoh kompleksitas penterjemahan al-Qur’an yang harus menjadi perhatian serius kita bersama. Wassalam